Toa Surau Kami

Mesjid Raya Bangkinang
Judulnya plesetan Robohnya Surau Kami oleh AA Navis, ya? Ini karena ada kesamaan esensi cara kita memandang mesjid. AA Navis antara lain bertutur bahwa orang tidak seharusnya menghabiskan sepanjang waktunya beribadah di mesjid, tapi juga memiliki kewajiban duniawi, terutama terhadap keluarganya. Demikian pula dengan si toa ini. Dia adalah ajakan untuk beribadah, yang seharusnya membuat orang senang, bukannya malah terganggu. Analoginya tidak nyambung? Wah maaf ya, tapi kira-kira setiap benda yang berada dirumah ibadah sebaiknya kita perlakukan sewajar fungsinya, tidak berlebihan.

TOA sebenarnya adalah sebuah merk perangkat audio, yang dijaman dulu mendominasi merk corong pengeras suara mesjid. Dulu bentuknya besar berwarna biru tua kusam, cenderung abu-abu. Namun kemudian, dengan perbaikan design dan kualitas, bentuknya menjadi lebih bervariasi, lebih kecil dan warnanya bermacam-macam.

Di Jawa, corong tersebut umumnya digunakan untuk kelurahan, sekolahan, acara keluarga dan tentu saja mesjid. Namun kemudian, kelurahan, dan acara-acara keluarga menggunakan peralatan yang lebih modern misalnya wireless microphone atau bahkan menyewa dalam bentuk set termasuk speaker. Corong toa ini, entah mengapa tetap bertahan sebagai pengeras suara mesjid. Mungkin karena jangkauannya yang luas, tidak perlu bolak-balik menyetel equalizer, pengoperasiannya sederhana dan lebih awet.

Setelah saya dewasa, saya baru tau kalau toa itu tidak hanya merk corong pengeras suara. Memang benar, toa adalah merk perangkat audio, namun range produknya sangat luas dan termasuk modern, misalnya mikropon untuk ruang rapat, announcer microphone untuk pabrik, speaker, bahkan telepon PABX. Sewaktu di Batam, untuk membeli dalam jumlah besar, bahkan harus mendatangi suppliernya di Singapura.

Bahwa kemudian toa menjadi sumber masalah bagi banyak orang, juga baru saya sadari setelah tergabung di facebook dan twitter dua tahun ini. Ketika masih tinggal di Jawa, meskipun berkali-kali pindah, tapi rumah saya tidak terlalu dekat dengan mesjid. Selain itu, toa di Jawa hanya berkumandang di waktu adzan dan sholat Jum’at. Volume suaranya-pun sedang saja. Bagi saya yang waktu itu masih polos, tidak memikirkan orang lain ataupun kebutuhan orang dewasa, apapun yang keluar dari mesjid itu pastilah baik, termasuk suara.

Setelah saya dewasa, saya-pun menyadari bahwa orang dewasa yang seharian mencari nafkah diluar rumah, perlu waktu untuk istirahat. Suara yang diharapkan keluar dari mesjid adalah panggilan sholat. Setelah itu, apapun yang terjadi di dalam mesjid, diharapkan hanya didengar oleh yang sedang beribadah didalamnya saja.

Setelah saya pindah ke Sumatra, beda jadinya. Di lingkungan tempat saya tinggal, meski halaman rumah luas, dan banyak rawa-rawa, namun mesjid lebih mudah dijumpai, kemungkinan ada disetiap RT. Toa disini bersuara tiga kali lipat volume suara toa di Jawa. Benar-benar keras! Corong disini bersuara setiap ada acara di mesjid, misalnya sholat, wirid, belajar ngaji, bahkan juga ibu-ibu latihan rebana. Iya, meskipun sedang latihan rebana, masih mengepas-ngepaskan suara, belum tampil yang sebenarnya.

Pada awalnya saya benar-benar kaget. Ibaratnya seperti ada yang sedang berbicara tapi pas didepan telinga saya. Jangankan tidur, berpikir-pun tidak bisa, bicara dengan orang rumah-pun harus dengan volume tinggi untuk menandingi suara corong tersebut. Padahal saya sulit berbicara dengan volume yang konstan tinggi. Tapi kemudian saya putuskan untuk bersabar dan beradaptasi. Karena itu adalah kebiasaan masyarakat disini yang berbicara-pun bersuara keras. Bahkan jika menggelar pesta, yang biasanya diadakan dirumah dengan mendirikan tenda, musik Melayu dan dangdut baik live maupun rekaman bisa mengalun dari jam 09.00-24.00.

Saya memutuskan tidak memprotes siapapun. Saya menerimanya sebagai keragaman budaya, bukan sesuatu yang norak, melanggar hak asasi manusia atau melanggar toleransi. Toleransi memang menganjurkan mayoritas menghargai minoritas. Tapi dalam hal ini, saya berusaha memandang dari sudut terbaiknya saja bahwa sebagai minoritas tidak ada salahnya memberikan kesempatan pada mayoritas untuk menjalankan kebiasaannya. Sesuatu yang dipandang mengganggu oleh seseorang kan tidak harus terasa mengganggu pula bagi orang lain, terutama jika itu sudah menjadi kebiasaan yang bisa saja malah mendatangkan kenyamanan bagi mereka. Itu toleransi juga, bukan?

Nah selama bulan Ramadhan ini, toa akan berkumandang mulai jam 18.00 (maghrib jam 18.25), dimulai dengan ceramah radio yang diterus-pancarkan melalui toa, pembacaan Al-Qur’an di radio yang diterus-pancarkan melalui toa, ucapan selamat berbuka oleh pejabat-pejabat pemerintah di radio yang diterus-pancarkan melalui toa, adzan, sholat maghrib, isya, tarawih, dan diakhiri dengan tadarus sampai jam 24.00 setiap hari. Meriah, ya?

Begitulah, seperti pepatah Melayu mengatakan, lain ladang lain ilalang, lain lubuk lain ikannya.

Post a Comment

0 Comments