Tempe Pedro Jogja



Setelah harga cabai mencekik, sekarang giliran harga kedelai melonjak. Petani mengancam demo. Tapi saya tidak akan menulis tentang harga kedelai, karena tidak mengerti. Saya akan menulis tentang yang saya tahu saja, yaitu tahu dan tempe.

Orang berjualan tempe biasanya juga berjualan tahu. Mungkin karena bahan baku sama sehingga tidak ada salahnya sekalian dibuat. Padahal proses pembuatannya berbeda. Proses pembuatan tahu lebih rumit dibandingkan tempe. Saya sendiri belum pernah menyaksikan proses pembuatan tahu. Sedangkan pembuatan tempe sudah pernah saya saksikan.

Tempe merupakan makanan asli Indonesia. Hati-hati jangan sampai diklaim negara lain. Sementara tahu adalah makanan asli China. Kita mengolahnya sebagai lauk, snack dan juga sayur. Khasiatnya cukup banyak antara lain melawan radikal bebas, mencegah penuaan, mencegah penyakit jantung, mencegah kanker dan sebagainya. Silakan baca secara lengkap di wikipedia.

Berapa kali anda makan tempe dan tahu dalam seminggu? Setiap hari? Keduanya memang makanan bergizi dan murah. Namun jangan sembarangan pula membelinya. Jika anda membeli dipasar, terutama tahu, air peremdam berbau asam menunjukkan tahu sudah terlalu lama disimpan penjual. Tahu terlalu kenyal juga menunjukkan banyaknya zat tambahan berbahaya seperti formalin yang heboh beberapa waktu lalu. Demikian pula tahu yang mudah hancur.

Selama ini, saya lebih suka berlangganan tahu yang keliling dari rumah-rumah. Bentuknya lebih meyakinkan dan masih hangat. Tidak ada bau asam. Harganya juga sangat murah Rp 3.000,- per 10 biji. Tidak perlu pusing memasak tahu baru seperti ini. Hanya dengan membumbui bawang putih, ketumbar dan garam, tahu bisa digoreng setengah matang. Rasanya gurih segar. Tukang tahu keliling biasanya juga membawa susu kedelai. Anak-anak sangat menyukainya. Sewaktu di Batam dulu, penjual tahu keliling juga membawa pinggiran tahu yang keras. Pinggiran tahu ini sangat lezat diolah sebagai sambel goreng.

Sewaktu kecil, tetangga kami adalah pembuat tempe tradisional. Saya kerap membantu mereka membuat tempe meski tidak dibayar. Saya senang sekali terlibat dalam suatu proses produksi dan selalu penasaran ingin tahu.

Jadi, kedelai direbus dulu. Setelah itu dikelupas. Cara mengelupasnya, kedelai ditaruh dikeranjang bambu lalu diinjak-injak dengan kaki. Jangan jijik, ya. Memang waktu itu masih tradisional, belum ada alat bantu. Sementara itu seorang lagi menimba air lalu menggelontorkan ke keranjang tersebut untuk sekalian membersihkan. Air mengalir keluar di sela-sela anyaman bambu. Jaman dulu juga belum ada air ledeng. Setelah itu kedelai direndam, dicuci lagi dan diragi. Katanya, jika pencucian tidak bersih, peragian bisa gagal. Proses lain yang saya sukai adalah membungkus. Di daerah kami waktu itu yaitu Madiun, tempe dibungkus dengan daun jati. Pembuatnya hidup serba kekurangan, makanya proses pembuatan tempe itu dilakukan dengan sangat sederhana pula.

Beberapa tahun lalu saya berkesempatan untuk berkunjung ke pabrik tempe semi modern di Patangpuluhan, Yogyakarta, milik Pak Pedro, tokoh Ketoprak yang sering mendapat peran sebagai orang menyebalkan dan tukang mengadu domba. Pabriknya tidak terlalu besar didalam gang. Namun proses seperti perebusan, pengelupasan dan peragian sudah menggunakan sistim ban berjalan sederhana. Karyawan juga memakai baju bersih. Tempe Pak Pedro ini dibungkus plastik.

Tekstur tempe yang dibungkus dengan plastik umumnya lebih padat jika dibandingkan dengan tempe yang dibungkus daun. Tempe jaman sekarang tidak lagi dibungkus bijian, melainkan batangan. Mungkin karena proses pembuatannya lebih mudah dan tidak memerlukan banyak tenaga kerja, yang berarti mengirit biaya produksi.

Semoga pemerintah mengambil tindakan atas melonjaknya harga kedelai ini. Bangsa kita boleh miskin tapi tidak boleh bodoh. Orang miskin harus tetap bisa membeli lauk murah meriah tapi bergizi ini, supaya kelak anak-anak mereka pandai dan tidak miskin lagi. Hidup tahu tempe!

Post a Comment

0 Comments